Jumat, 12 November 2010

SENJATA TRADISONAL JATENG

Apa Itu Keris?
Sebelum membahas masalah keris dan budayanya, sebaiknya ditentukan dahulu batasan-batasan mengenai apa yang disebut keris. Hal ini perlu karena dalam masyarakat sering dijumpai pengertian yang keliru dan kerancuan mengenai apa yang disebut keris.Saya berpendapat, sebuah benda dapat digolongkan sebagai keris bilamana benda itu memenuhi kriteria berikut:
1. Keris harus terdiri dari dua bagian utama, yakni bagian bilah keris (termasuk pesi) dan bagian ganja. Bagian bilah dan pesi melambangkan ujud lingga, sedangkan bagian ganja melambangkan ujud yoni. Dalam falsafah Jawa, yang bisa dikatakan sama dengan falsafah Hindu, persatuan antara lingga dan yoni merupakan perlambang akan harapan atas kesuburan, keabadian (kelestarian), dan kekuatan.
2. Bilah keris harus selalu membuat sudut tertentu terhadap ganja. Bukan tegak lurus. Kedudukan bilah keris yang miring atau condong, ini adalah perlambang dari sifat orang Jawa, dan juga suku bangsa Indonesia lainnya, bahwa seseorang, apa pun pangkat dan kedudukannya, harus senantiasa tunduk dan hormat bukan saja pada Sang Pencipta, juga pada sesamanya. Ilmu padi, kata pepatah, makin berilmu seseorang, makin tunduklah orang itu.
3. Ukuran panjang bilah keris yang lazim adalah antara 33 – 38 cm. Beberapa keris luar Jawa bisa mencapai 58 cm, bahkan keris buatan Filipina Selatan, panjangnya ada yang mencapai 64 cm. Yang terpendek adalah keris Buda dan keris buatan Nyi Sombro Pajajaran, yakni hanya sekitar 16 – 18 cm saja.
Tetapi keris yang dibuat orang amat kecil dan pendek, misalnya hanya 12 cm, atau bahkan ada yang lebih kecil dari ukuran fullpen, tidak dapat digolongkan sebagai keris, melainkan semacam jimat berbentuk keris-kerisan.
4. Keris yang baik harus dibuat dan ditempa dari tiga macam logam,- minimal dua, yakni besi, baja dan bahan pamor. Pada keris-keris tua, semisal keris Buda, tidak menggunakan baja.
Dengan demikian, keris yang dibuat dari kuningan, seng, dan bahan logam lainnya, tidak dapat digolongkan sebagai keris. Begitu juga “keris” yang dibuat bukan dengan cara ditempa, melainkan dicor, atau yang dibuat dari guntingan drum bekas aspal tergolong bukan keris, melainkan hanya keris-kerisan.
Meskipun masih ada beberapa kriteria lain untuk bisa mengatakan sebuah benda adalah keris, empat ketentuan di atas itulah yang terpenting.
Keris Budaya Nusantara
Thailand, Filipina, Kamboja, dan Brunei Darussalam. Jadi, boleh dikatakan budaya keris dapat dijumpai di semua daerah bekas wilayah kekuasan dan wilayah yang dipengaruhi Kerajaan Majapahit. Itulah sebabnya beberapa ahli budaya menyebutkan, keris adalah budaya Nusantara.
Keris tertua dibuat di Pulau Jawa, diduga sekitar abad ke-6 atau ke-7. Di kalangan penggemarnya, keris buatan masa itu disebut keris Buda. Sesuai dengan kedudukannya sebagai sebuah karya awal sebuah budaya, bentuknya masih sederhana. Tetapi bahan besinya menurut ukuran zamannya, tergolong pilihan, dan cara pembuatannya diperkirakan tidak jauh berbeda dengan cara pembuatan keris yang kita kenal sekarang. Keris Buda hampir tidak berpamor. Seandainya ada pamor pada bilah keris itu, maka pamor itu selalu tergolong pamor tiban, yaitu pamor yang bentuk gambarannya tidak direncanakan oleh Sang Empu.
Sesuai dengan perkembangan budaya masyarakatnya, bentuk bilah keris juga mengikuti kemajuan zaman. Bentuk bilah yang semula relatif gemuk, pendek, dan tebal, secara berangsur menjadi menjadi lebih tipis, lebih langsing, lebih panjang, dan dengan sendirinya makin lama makin menjadi lebih indah.
Ricikan atau komponen keris yang semula hanya berupa gandik, pejetan, dan sogokan, dari zaman ke zaman bertambah menjadi aneka macam. Misalnya, kembang kacang, lambe gajah, jalen, jalu memet, lis-lisan, ada-ada, janur, greneng, tingil, pundak sategal, dan sebagainya.
Meskipun dari segi bentuk dan pemilihan bahan baku, keris selalui mengalami perkembangan, pola pokok cara pembuatannya hampir tidak pernah berubah. Pada dasarnya, pola pokok proses pembuatan keris: membersihkan logam bahan besi yang akan digunakan, mempersatukan besi dan pamor, dan kemudian memberinya bentuk sehingga disebut keris.
Pada zaman sekarang pembuatan keris masih tetap dilakukan secara tradisional di daerah Yogyakarta, Surakarta, Madura, Luwu (Sulawesi Tenggara), Taman Mini Indonesia Indah (Jakarta), Kelantan (Malaysia), dan Bandar Sri Begawan (Brunai Darussalam). Pembuatan keris masa kini masih tetap menggunakan kaidah-kaidah lama. Beberapa di antar para empu dan pandai keris itu bahkan masih tetap membaca mantera dan doa, serta melakukan puasa selama masa pembuatan kerisnya.
Karena budaya keris ini tersebar luas di seluruh Nusantara, Benda ini mempunyai banyak nama padanan. Di pulau Bali keris disebut kedutan. Di Sulawesi, selain menyebut keris, orang juga menamakannya selle atau tappi. Di Filipina, keris dinamakan sundang. Di beberapa daerah benda itu disebut kerih, karieh, atau kres. Demikian pula bagian-bagian kelengkapan keris juga banyak mempunyai padanan. Walaupun demikian bentuk keris buatan daerah mana pun masih tetap memiliki bentuk yang serupa. Dan, juga bentuk bagian-bagiannya pun tidak jauh berbeda.
Bukan Alat Pembunuh
Walaupun oleh sebagian peneliti dan penulis bangsa Barat keris digolongkan sebagai jenis senjata tikam, sebenarnya keris dibuat bukan semata-mata untuk membunuh. Keris lebih bersifat sebagai senjata dalam pengertian simbolik, senjata dalam artian spiritual. Untuk ‘sipat kandel,’ kata orang Jawa. Karenanya oleh sebagian orang keris juga dianggap memiliki kekuatan gaib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar